Kisah ini tentang kesaksian pada suatu hari Natal. Pemuda ini menjalani kehidupan bebas sebebas-bebasnya pada waktu muda, lalu datanglah kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan, bertobat dan sebagai ucapan syukur pemuda ini melayani pekerjaan Tuhan. Kehidupan terus berlalu hingga dia membangun keluarga.
Berhubung dia berasal dari keluarga pengusaha yang cukup kaya di Jakarta, maka istrinya didorong ayah ibunya untuk segera hamil. Kelahiran sang cucu sangat dinanti-nanti. Keluarga besarnya sangat mengelu-elukan lahirnya seorang putera, yang dipandang penting sebagai bagian dari generasi penerus.
Ketika akhirnya istrinya hamil, sangat senanglah keluarga besar ini. Kebutuhan sang istri dan bayinya sangat diperhatikan dengan seksama. Pemeriksaan dokter dilakukan secara teratur. Pada waktu kehamilan bulan kedelapan, sang istri segera dilarikan ke Rumah Sakit karena ada kemungkinan kelahiran bayi prematur. Kejadian ini ternyata serius karena istri dan anak yang dikandungnya menghadapi pergumulan hidup dan mati. Team dokter ahli sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun ternyata apa mau dikata, istri dan anaknya tak tertolong. Inilah pukulan berat bagi si pemuda.
Ia bertanya kepada Tuhan, "Mengapa? Mengapa istri dan bayinya harus dipanggil pulang secepat ini? Mengapa Tuhan tidak menolong? Mengapa Tuhan tidak mendengar doanya? Mengapa Tuhan membiarkan mereka meninggalkannya? Mengapa dia tidak diberi kesempatan untuk hidup bahagia bersama istri dan anaknya? Mengapa?"
Itulah pukulan hebat dan luar biasa bagi pemuda ini. Dia marah sekali kepada Tuhan. Dia juga marah kepada keluarga besarnya yang "memaksa" mereka untuk punya anak segera. Pukulan hebat ini membuat dia tidak percaya lagi bahwa Tuhan itu baik, bahwa keluarganya juga baik. Seperti sang anak bungsu yang hilang dalam kisah Alkitab, dia melarikan diri dari rumah keluarga besarnya, dia melarikan diri dari Tuhan, dia pergi jauh membawa uang untuk dipakai berfoya-foya. Dia pakai uangnya untuk hidup seenaknya, hidup sebebas-bebasnya, hingga uangnya habis. Selama berfoya-foya dia tidak dapat dihubungi siapapun, sehingga ketika ayahnya meninggal, dia tidak tahu dan tidak menghadiri pemakaman ayahnya.
Setelah menjadi miskin, dia tidak berani pulang ke rumah orang tuanya. Dia pergi ke tanah kelahirannya di Medan. Dia hidup menggelandang, dia hidup sebagai orang jalanan, dia hidup diantara para preman. Dia hidup seenaknya dan sesukanya.
Pada hari-hari menjelang Natal dia ingat bahwa sebentar lagi akan ada perayaan Natal. Ingat Natal, dia ingat Tuhan. Tapi hanya kepahitan yang memenuhi hatinya saat itu. Malam itu di bawah kolong langit yang cerah dia masih marah kepada Tuhan. Dia memaki-maki Tuhan. Dia lampiaskan sakit hatinya kepada Tuhan. Dia tunjuk jarinya ke langit sambil mengata-ngatai Tuhan.
Puas dengan cara itu, dia akhirnya tertunduk kelelahan. Sementara hatinya masih diliputi kemarahan, terdengar sayup-sayup senandung yang berkata, "How could I forget His love, how could I forget His mercy..... He satisfies, he satisfies, he satisfies my desire...."
Hatinya tersentuh. Dia ingat kasih Tuhan. Dia ingat pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib. Dia ingat kemurahan-Nya. Dia ingat pengampunan-Nya. Dia ingat. Rupanya dia tidak dapat lari dari Roh Tuhan yang mengejarnya terus kemanapun dia pergi.
Pelan-pelan dia bangkit. Ia cari suara nyanyian itu. Ternyata suara itu berasal dari sebuah gereja kecil di sebuah gang. Ada beberapa anak muda sedang mempersiapkan acara Natal di situ. Dengan malu-malu dia mendekati mereka.
"Maaf, kami tidak memberikan sumbangan saat ini," kata salah satu dari anak muda di gereja itu.
"Oh, saya tidak minta apa-apa. Saya tidak layak masuk ke dalam gereja. Biarkan saya duduk di depan pintu ini saja." Dia terus mendengarkan mereka latihan lagu-lagu Natal. Sementara itu Roh Kudus memulihkan hatinya, menyembuhkan luka batinnya, memberi damai sejahtera yang tidak pernah dia rasakan bertahun-tahun selama pelariannya.
Pada perayaan Natal saat itu dia akhirnya berani masuk ke gereja kecil itu, namun di deretan paling belakang. Dia menikmati kehadiran Tuhan di gereja kecil dan sederhana itu. Dan sejak itu hidupnya dipulihkan kembali. Dengan pertolongan Tuhan, dia mulai bekerja dengan halal. Dia mengajak teman-teman gelandangannya untuk bekerja mengolah kain-kain sisa dari industri garmen di sekitar situ, untuk dijadikan kain perca dan dijadikan barang-barang yang bernilai tambah tinggi. Dari situ dia mulai membangun kehidupan baru. Akhirnya dia kembali ke Jakarta, kembali kepada keluarganya, kembali meneruskan bisnis keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar