Sabtu, 04 April 2015

Secangkir Kopi di Dinding

Saya duduk bersama seorang teman di kedai kopi yang terkenal di dekat kota Venisia, kota air dan bertabur cahaya. Ketika kami menikmati kopi kami, seorang pria masuk dan duduk di kursi kosong samping kami.


Pria itu memanggil pelayan dan menyampaikan pesanannya dengan berkata, "Pesan 2 cangkir kopi ya, satu taruh di dinding."  Kami mendengarkan pesanan itu dengan penasaran dan memperhatikan bahwa pria itu dilayani dengan secangkir kopi namun membayar dua cangkir. Segera setelah ia berlalu, sang pelayan menempelkan selembar kertas di dinding yang bertuliskan: Satu Cangkir Kopi.

Sementara kami masih duduk di sana, dua pria lain muncul dan memesan tiga cangkir kopi, dua cangkir disajikan di meja dan satu di dinding. Mereka minum dua cangkir kopi namun membayar tiga dan kemudian mereka pergi. Pada kali ini sang pelayan melakukan hal yang sama, ia menempelkan selebar kertas di dinding yang bertuliskan: Satu Cangkir Kopi.

Nampaknya praktik ini sudah biasa di tempat ini. Namun tetap saja hal itu unik dan mengherankan kami. Karena kami tidak ada urusan dengan hal itu, maka kami habiskan kopi kami, membayar tagihannya dan pergi.

Beberapa hari kemudian, kembali kami memiliki kesempatan mengunjungi kedai kopi itu. Sementara kami menghirup kopi kami, seorang pria masuk. Cara berpakaian pria ini tidak cocok bagi kemewahan dan suasana kedai kopi ini. Kemiskinan nampak dari penampilan dan wajahnya. Setelah ia duduk, ia menunjuk ke dinding sambil berkata, "Secangkir kopi dari dinding." Sang pelayan menyajikan secangkir kopi kepada pria kumuh ini dengan standar pelayanan kepada pelanggan yang terhormat dan bermartabat.

Pria itu menikmati kopinya hingga habis dan pergi tanpa perlu membayar. Kami kagum melihat kejadian ini ketka sang pelayan melepaskan selebar kertas dari dinding dan membuangnya ke tempat sampah. Kini kami mengerti apa yang telah terjadi. Penghormatan yang tinggi bagi orang-orang yang berkekurangan telah ditunjukkan oleh penduduk kota ini dan membuat mata kami berlinang airmata.

Kopi bukanlah kebutuhan mendasar bagi masyarakat dan kehidupan kita. Poin untuk diperhatikan yaitu ketika kita menikmati kesenangan dari berkat apapun, mungkin kita juga perlu memikirkan mereka yang ingin menikmati berkat itu sama seperti kita namun mereka tidak sanggup memilikinya.

Perhatikan karakter sang pelayan, yang melakukan tugasnya dengan konsisten dan murah hati sehingga ia menjadi jembatan antara pihak yang membagi berkat dan pihak yang berkekurangan dengan pelayanan penuh senyum kepada siapapun.

Renungkan juga pria yang berkekurangan itu. Ia memasuki kedai kopi mewah itu tanpa merasa rendah diri dan mengemis minta secangkir kopi, tanpa perlu tahu siapa yang telah membayar kopinya. Ia hanya perlu menunjuk ke dinding menyampaikan order secangkir kopi, menikmatinya dan pergi.

Kita dapat belajar tentang kemurah-hatian dan kepedulian penduduk kota ini terhadap sesama manusia. Demikianlah caranya menunjukkan belas kasih dan mempertahankan martabat bagi umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar