Jumat, 03 Juli 2015

9 Fakta Puasa Ramadhan Hanya Akal - akalan Muhammad


Puasa Ramadhan sesungguhnya bukan puasa yang dikenal dan dipraktikkan para nabi sebelumnya. Ia bukan puasa yang memantang atau mengurangi nafsu lahiriah (pantang makan-minum dan sex dll) untuk keseluruhan tenggang waktu, melainkan semata-mata “memindahkan jam makan dan sex,” dari pagi-sore menjadi sore-subuh selama bulan tersebut. Volume makan-minum dan kualitasnya juga tidak disita, dipantangi atau dikurangi -- malahan cenderung sebaliknya karena sering lebih tinggi melampiaskan nafsu makan-minum ketimbang yang dilakukan dihari-hari/bulan biasanya.


Puasa Ramadhan kini bukan lagi merupakan ibadah Islam, melainkan juga menjadi fashion kultural. Hingar bingar dari satu keluarga besar atau kelompok-kelompok komunitas tertentu dalam acara buka puasa misalnya mulai menjadi aktifitas sosial yang dianggap sangat memberi makna. Puasa Ramadhan telah diwajibkan sejak di Medinah tahun 2H kepada setiap Muslim demi melengkapi ibadah shalat 5 waktu, yang semuanya diklaim berlandaskan  atas perintah Allah, yang satu dijemput oleh Muhammad ke surga (malam Mikraj), yang satu diturunkan dari surga,  dalam Sura Al-Baqarah 183,

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telahdiwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Kisah memperoleh hukum wajib shalat jelas dikisahkan di pelbagai hadist berkenaan dengan perjalanan malam Mikraj. Walau sangat berbau dongeng 1001 malam dan penuh detil yang saling berkontradiksi, namun itulah yang telah dipercayai umat Muslim.  Kini adakah Muslim yang tahu bagaimana perjalanan Muhammad sampai mendapatkan hukum wajib Puasa Ramadhan? Allah-kah yang mewajibkan puasa ini, atau seseorang lainnya? Absahkah dan sempurnakah perintah wajib puasa itu sampai ke tangan Muhammad? Ataukah ada unsur otak-atik dan akal-akalan manusia sehingga malah meleset motivasinya dan sia-sia puasanya? Inilah sejumlah kecil fakta yang mudah diperlihatkan, namun sering dialpakan.



Fakta-1. Puasa Islamik bukan puasa nabi-nabi sebelumnya.

Puasa Ramadhan sesungguhnya bukan puasa yang dikenal dan dipraktikkan para nabi sebelumnya. Ia bukan puasa yang memantang atau mengurangi nafsu lahiriah (pantang makan-minum dan sex dll) untuk keseluruhan tenggang waktu, melainkan semata-mata “memindahkan jam makan dan sex,” dari pagi-sore menjadi sore-subuh selama bulan tersebut. Volume makan-minum dan kualitasnya juga tidak disita, dipantangi atau dikurangi -- malahan cenderung sebaliknya karena sering lebih tinggi melampiaskan nafsu makan-minum ketimbang yang dilakukan dihari-hari/bulan biasanya. Ia tidak meninggalkan apa-apa seperti yang dicatatkan dalam hadits riwayat Ibn Khuzaimah, kecuali menggesernya,

“Meninggalkan makannya karena-Ku, meninggalkan minumnya karena-Ku, meninggalkan hawa nafsunya karena-Ku, dan meninggalkan hubungan suami istri karena-Ku” (HR Ibn Khuzaimah).

[Bandingkan dengan puasa umat “ahli kitab” (Yahudi dan Kristiani) yang samasekali bukan asal menggeser jam makan, melainkan melandaskan dasar berpuasa pada “suasana perkabungan”, suasana jeritan batin, penyesalan/minta pengampunan dosa, keprihatinan atau kepedulian (concern) yang sangat mendalam terhadap percaturan dan isu kehidupan tertentu. Dan karenanya dengan segala rendah hati – bahkan hancur hati – sengaja mencari wajah dan welas-asih Tuhan, mendekatkan diri secara khusus dengan Tuhannya, dengan betul-betul meninggalkan nafsu makan-minum dan lain-lain nafsu kedagingan. Puasa inilah yang dilakukan secara pribadi atau berkelompok selama beberapa waktu yang dianggap perlu oleh pihak yang berpuasa, bisa sehari, atau beberapa hari]. Jadi puasa Ramadhan ini sungguh tidak berakar dari tata ritual nabi-nabi, yang mana merupakan perolehan dari sumber lain yang tidak berasal dari Alkitab.



Fakta-2. Puasa Ramadhan hanyalah sebentuk disiplin jasadiyyah atas pembalikan waktu makan, yang cenderung bersifat pamer, minta dihormati, dan mengharapkan pahala.

Hadis Nabi justru memerintahkan Muslim yang berpuasa untuk pamer puasa dengan mengucap dua kali: “Saya sedang berpuasa” kepada orang yang bertengkar dengannya atau yang melecehi dirinya (Bukhari 31:118). Ini sungguh arogan. Menonjolkan ego dirinya yang sok suci puasa! Memaklumatkan status dirinya yang menyiratkan “kebenaran-dirinya” menghadapi pertengkarannya yang sedang berjalan. Dan ini tentu tidak akan menyelesaikan persoalan apa-apa. Seyogyanya puasanya tidak ditonjolkan olehnya, melainkan dengan rendah hati diubah menjadi sejenis: “Saya minta dimaafkan”. Atau “Kita memilih berdamai di bulan suci ini.”

Implikasi seruan “saya sedang berpuasa” ini telah dirasakan oleh kedai-kedai makan dan resto yang “dihimbau” (baca: diwajibkan) untuk ditutup. Dalil yang dipakai adalah orang-orang lain harus sensitif dan “tahu-diri” bahwa dia (Muslim) itu sedang berpuasa dan berkorban-suci, sehingga harus mendapat pengakuan dan penghormatan yang layak. Mereka juga merasa telah “berkorban” sehingga merasa layak mendapat upah berupa pahala Allah.

[Bandingkan puasa yang sungguh menghayati keluhuran batiniah dengan rendah hati, tanpa pamer, tidak menuntut penghormatan, pahala, atau pengakuan siapapun, melainkan cukup diketahui/dipandang oleh Tuhan sebagai puasa yang mulia. Tak ada pahala manusia karena semuanya adalah kepunyaanNya. Tuhan telah memberi begitu banyak, sampai memberi Yesus, dan kita tidak bisa menuntut lagi. Namun Dia akan memberi terus menurut kemurahanNya, sebagaimana yang Yesus katakan:

“Dan apabila kamu berpuasa (bukan geser jam makan!), janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa (minta pengakuan dan penghormatan orang lain). Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi (bersifat pribadi, rendah hati, pasrah tidak menuntut). Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:16-18)]



Fakta-3. Muhammad ikut mempraktekkan puasa pagan: Puasa 10 Muharram.

Aneh, tidak diketahui oleh Muslim, kapan Nabinya pertama kali berpuasa. Dimana, bagaimana, bersama siapa? Logisnya beliau harus sudah berpuasa tatkala retreat di gua Hira. Tidak ada transformasi yang terdahsyat terjadi dalam hidupnya sebelum seseorang berpuasa habis-habisan didalam Tuhan. Lihat itu Musa, Ester, Daud, Yesus, semua perubahan ajaib terjadi SETELAH mereka menuntaskan doanya dengan berpuasa. Tapi entahlah kenapa hal ini tidak terjadi pada Muhammad. Yang jelas, puasa sudah dikenal dalam masyarakat Arab bahkan sebelum Islam muncul. Tercatat bahwa Quraisy pagan sudah biasa melaksanakan puasa “Ashura” pada masa Jahiliah, dan karena itulah Muhammad juga ikut-ikut berpuasa Ashura untuk mengagungkan hari tersebut, demi berusaha mengambil hati kaum pagan untuk masuk Islam (bukti lihat point berikutnya).

Diriwayatkan Aisha: “Quraisy biasa berpuasa pada hari Ashura dalam zaman pra-Islam, maka Rasul Allah memerintahkan (Muslim) untuk berpuasa pada saat itu….” (Hadist Bukhari 3.31.no.117).

Ini berarti puasa awal yang dilakukan oleh Muhammad adalah puasa pagan, bukan puasa Islamik yang Allah turunkan khusus dari surga untuk menjadi tiang ibadah kaum Muslim!

Ini patut disesalkan! Puasa Ashura ala Quraisy itu jatuh pada 10 Muharram yang juga merupakan ketetapan kaum pagan sendiri, entah dari mana tetapi bukan dari Allah. Dan Muhammad nyaman-nyaman saja melaksanakannya tanpa ditegur Allah (atau Muhammad minta ampun kepada Allahnya), hingga pada suatu waktu lainnya di Medinah…



Fakta-4. Muhammad memplagiat puasa Yahudi di Medinah: Puasa Ashura (?)

Sekalipun Muhammad sudah berusaha keras untuk menyenangkan Quraisy dengan mengikuti pelbagai tradisi mereka, namun beliau tidak berhasil merangkulnya. Padahal Muhammad sudah menerima dan ikut tradisi, termasuk (1) pensakralan 4 bulan-bulan Haram, (2) ikut ritual umroh/haji, (3) memanggil nama “Allah” yang sama, (4) pengkramatan Ka’bah dengan Batu Hitamnya, (5) serta berpuasa Ashura pula, namun kaum Arab ini tetap saja memusuhi Nabi yang mengajarkan Allah Yang Satu (The God) seraya mengolok-olokkan dewa-dewi mereka yang politeistis. Maka ketika hijrah ke Medinah dan mendapati banyak orang-orang Yahudi disana,  Muhammad – pun banting setir dengan mencoba merangkul orang Yahudi yang memang sudah monoteis. Dikiranya lebih gampang…

Sebenarnya, sejak masih anak remaja, Muhammad sudah cenderung kepada ajaran Yahudi ketimbang pagan Arab. Dikala sebagai gembala bayaran, Muhammad memang telah berkhayal untuk menjadi nabi nabi-nabi Yahudi seperti Musa dan Daud (MH.Haekal, Sejarah Muhammad, p.60). Belakangan, Khadijah dan Waraqah bin Naufal juga turut mendorongnya menjadi ‘nabi terusan’ dari deretan nabi-nabi Yahudi, yaitu kini bagi orang orang Arab. Itu sebabnya Muhammad berkata bahwa ia membawa pesan dan peringatan yang sama seperti yang digariskan juga dalam Taurat dan Injil untuk orang orang Israel, dan merasa berhak dijejerkan dengan Musa, bahkan lebih.

Diriwayatkan Ibn 'Abbas: Nabi datang ke Medina lalu melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Ashura [??]. Beliau bertanya tentang hal tersebut. Dan merekapun menjawab, “Ini adalah hari baik, hari dimana Allah melepaskan Bani Israel dari musuh mereka. Maka Musa berpuasa pada hari tersebut.

Nabi pun berkata, “Kami lebih berhak dengan Musa ketimbang kalian.” Oleh karena itu Nabipun melaksanakan puasa pada hari itu seraya memerintahkan (kepada Muslim) untuk berpuasa (pada hari itu). (Bukhari 3.31.No. 222)

Ini puasa wajib. Hadist sangat jelas berbicara tentang asal-usul dan awal puasa Islam yang ditetapkan wajib oleh Muhammad tanpa otoritas dari surga, melainkan dimulai secara MENDADAK serentak pada siang hari itu juga, walau para pengikutnya  sudah terlanjur makan! (Yusuf Qardhawi, Tirulah Puasa Nabi! p.213).  Yaitu dengan ikut-ikutan plagiat puasa Ashura Yahudi—hanya karena dua hal, yaitu kesombongan Muhammad yang tak mau dianggap kalah-hak atas warisan Musa, dan sekaligus memanfaatkannya untuk meyakinkan/merangkul kaum Yahudi bahwa benarlah dia “nabi-terusan” Taurat dan Injil! Ini sekaligus melengkapi plagiat kiblat shalat yang harus diarahkan ke Baitul Maqdis (Yerusalem). Bahkan menyertakan (mengklaim) namanya “Ahmad” sebagai nabi yang ditunggu-tunggu, yang namanya sudah tertulis dalam Taurat dan Injil!

Akan tetapi kini datang pertanyaan-pertanyaan besar  yang menantang semua bualannya, yaitu antara lain:

(1). Kenapa ada dua jenis puasa Ashura, yang satu Ashura-Quraisy (10 Muharram) seperti yang disaksikan oleh Aisyah, dan kini Ashura-Yahudi seperti yang disaksikan ibn Abbas?

(2). Bukankah Muhammad sudah melaksanakan puasa Ashura bersama dengan Quraisy, lalu kenapa Muhammad juga menganut puasa Yahudi, dan tidak “mempermasalahkan” kedua puasa Ashura ini? Tentu telah terjadi kesalahan entah dimana, dan Muslim tidak anggap itu bermasalah!?

(3). Mungkinkah kedua puasa Ashura ini sama ritual puasanya, dan jatuh pada tanggal yang sama pula? Mustahil, bukan?

(4). Kalau begitu dapatkah seorang Nabi Allah menganut dua jenis puasa: yang satu belum dibatalkan, tetapi yang baru langsung diadopsi dan diberlakukan instan pada hari itu juga?


Lanjut ke Halaman Kedua --->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar