Minggu, 24 Februari 2008

Tuhan Yesus selamatkan Saya dari Kecelakaan Maut (Hermanus Handoko)

Saya adalah Lettu Teknik Hermanus Handoko yang dilahirkan pada tanggal 6 April 1961 dalam kalangan orang Jawa di daerah sejuk dekat rumah retreat Katolik Lavena, Pring Sewu kampung Padang Bulan Bandar lampung. Saya putra kedua dari delapan bersaudara. Ayah saya bernama Wakidi dan ibu saya yang sudah almarhum Aluwisia Sarijah.

Saya menikah pada tanggal 7 Nopember 1990 dengan seorang gadis yang bernama Agnes Dwi Kasih Sungkowowati di Bandar Lampung. Perjumpaan kami terjadi di daerah candi Prambanan yang diawali dengan kegiatan gereja. Pada waktu itu saya adalah seorang pemuda Katolik yang rajin dan Agnes adalah pemudi GKJ Prambanan. Kami sempat berpisah beberapa tahun lalu berjumpa lagi di Bandung. Ketika itu Agnes telah selesai studi di Yogyakarta dan melamar untuk menjadi Wanita Angkatan Udara (WARA) TNI. Saat berjumpa lagi itulah saya jatuh cinta kepada Agnes.

Saat ini kami telah menikah dan dikaruniai Tuhan dua putra yaitu Stevanus Wiga, 14 tahun dan Andreas Dani, 10 tahun. Kami tinggal di rumah dinas TNI AU, Husein Sastranegara sejak tahun 1990 sampai sekarang. Saya sehari-hari bekerja di Landasan Udara Sulaeman bagian Operasi Sibinpot Dirga dan isteri mengabdikan diri sebagai guru agama di Sekolah Menengah Pertama Sumatera 40 Bandung.

24 Februari 2006

Pada hari Jumat sore tanggal 24 Februari 2006 Hermanus menerima sms dari alm. Kapten Pilot Arif Mulyawan, penerbang IPTN yang mengajaknya terbang ke Bali.
“Sore itu saya mendapat sms untuk membantu rekan saya untuk mengisi bahan bakar pesawat mengingat pesawat itu akan digunakan untuk penerbangan ke Bali.”

Hermanus segera berangkat menuju ke lokasi untuk pengecekan dan pengisian bahan bakar pesawat. Setelah mengurus surat-surat, sore itu juga Hermanus mengisi bahan bakar pesawat karena hanya tinggal 60 liter.

Keesokan paginya...

Keesokan harinya pada jam setengah enam pagi alm. Kapt. Pilot Arif menghubungi Hermanus untuk kepastian keberangkatan mereka ke Bali.
“Pagi-pagi sekitar ½ 6 saya mendapat sms dari alm.Kapt. Pilot Arif yang mengatakan ‘Pak, kita jadi berangkat ke Bali sekarang’. Saya dengan istri cepat-cepat melakukan persiapan untuk berangkat ke bandara. Saya cek pesawat itu kembali karena sudah semalam. Dari bahan bakar, oli sampai keadaan posisi pesawat ternyata bagus.”

Sebelum ke Bali pesawat yang ditumpangi Hermanus akan ke Jakarta terlebih dahulu. Pesawat dengan tipe super rable dengan tipe 2500 tersebut ditumpangi oleh Arif sebagai pilot, Hermanus sebagai mekanik dan seorang teman Arif yang kebetulan ikut ke Jakarta.

“Saya meminta isteri untuk mengantarkan saya ke bandara. Sebelum keberangkatan saya, isteri mengatakan kepada saya saat itu ‘Tuhan menyertaimu pak’. Saya sendiri berangkat terasa ringan dan sepertinya tidak ada beban. Saya merasakan senang sekali karena sebagai mekanik pesawat, saya ditugaskan untuk menguji kelayakan seluruh badan pesawat, bahan bakar, oli dan lain-lain. Setelah semuanya diperiksa dan pesawat itu laik terbang, kami bertiga (saya, alm. Arif Mulyawan dan alm. Imam Santoso) berangkat dari Bandung (take off) menuju bandara Halim di Jakarta pada jam 07.30 WIB, dan kami tiba di Jakarta pada jam 08.10 WIB.”

Ketika sedang landing, Hermanus sempat merasakan suatu firasat buruk.
“Pada saat mau landing, landasan itu tertutup oleh awan hitam. Saya juga sempat kaget. Sambil belok ke kanan untuk menghindar, kami masih bisa lihat landasan. Langsung kami masuk menuju landasan untuk landing.”

Setibanya di Jakarta, dilakukan kembali pengisian bahan bakar pesawat.
“Saat itu bahan bakarnya memang sudah minim sekali sehingga didatangkanlah tanker untuk pengisian bahan bakar kembali.”

“Sesampainya di bandara Halim seperti biasa saya langsung menelepon isteri untuk memberitahukan kalau saya sudah mendarat dengan selamat dan mengabarkan akan berangkat ke Semarang. Setelah itu kami ditambah satu orang lagi yaitu Ir. Firman Sunoto, menjadi berempat melanjutkan perjalanan dari bandara Halim ke bandara Ahmad Yani di Semarang pada jam 08.40 WIB, dimana pada waktu itu kondisi cuaca sangat cerah dan pesawat yang kami tumpangi dapat take off dengan baik.”

Di Udara Mesin Sudah Mati

Dalam penerbangan ke Semarang, kemudi dikendalikan oleh co-pilot.
“Supaya familiar. Dengan rencana setelah sampai sana, co-pilot ini nanti yang membawa pesawatnya kembali ke Jakarta. Pilotnya itu cuma memonitor saja.”

Pesawat menyusuri daerah Saguling dengan ketinggian 5000-5500 feet.
“Kami melihat ke kiri dan kanan untuk mengecek kondisi pesawat siapa tahu ada kelainan baik dari wing atau mungkin ada kebocoran dari bahan bakar tapi ternyata tidak ada. Jadi kami berjalan sambil bercanda, menghilangkan ketegangan.”

Ketika sedang melintasi daerah Kalijati, Hermanus sempat bertanya pada pilot.
“’Kalijati sudah lewat belum?’ ‘Sudah pak, itu di belakang.’ Tadinya rencananya seandainya belum lewat, kami akan mengadakan pendaratan dulu untuk cek mesin.”

Dalam hitungan detik setelah Hermanus bertanya, suatu peristiwa yang paling mengerikan akan dialaminya.
“Mesin itu mati. Co-pilotnya agak kebingungan akhirnya diambil alih sama pilot. Distater lagi di atas tidak mau, dicoba sampai tiga kali tetap tidak mau. Akhirnya kita putuskan untuk landing secara darurat.”

“Kejadiannya begitu cepat dan saya hanya bisa pasrah. Ketika mesin pesawat mati, semua penunjuk seperti ketinggian dan lainnya berada di posisi nol. Pilot sempat mengingatkan awak lainnya untuk waspada dan meminta masing-masing memeriksa sabuk pengaman untuk pendaratan darurat. Saya yang duduk di bangku belakang berdampingan dengan Ir. Firman Sunoto hanya bisa berdoa memohon perlindungan dari Tuhan karena saya pada waktu itu tidak tahu apa yang mesti saya lakukan. Saya mencoba meraih apa saja yang bisa dijadikan pegangan.”

Pesawat akhirnya jatuh menghujam bumi di area perkebunan dan patah menjadi tiga bagian. Pesawat dengan tipe Cessna SR2500 itu jatuh didaerah Cibogo, Subang. Pilot dan co-pilot meninggal dunia seketika sedangkan Hermanus dan rekannya yang lain hanya mengalami luka-luka.

Tuhan Masih Sayang Kepada Saya

Beruntunglah Hermanus karena tidak ada luka serius yang terjadi padanya.
“Saya hanya mendapatkan luka kecil di bagian lengan kiri dan di pipi. Saya sempat pingsan ketika pesawat menghantam tanah dan saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saya baru tersadar ketika saya sudah berada beberapa meter dari jatuhnya pesawat, dan ada seorang bapak memapah saya kemudian menanyakan apakah saya masih bisa dibonceng naik motor untuk dibawa ke puskemas. Saya menjawab ‘bisa’ kemudian saya dilarikan ke puskemas Cibogo Subang sekitar jam 09.20 WIB dengan dibonceng sepeda motor. Sorenya sekitar jam 17.00 WIB saya dijemput komandan dan staf dari Lanud. Sulaeman Bandung kemudian dibawa ke Rumah Sakit TNI AU, dr. Salamon Ciumbeluit Bandung. Setelah kejadian itu saya sangat bersyukur sekali karena Tuhan masih memberi kesempatan kepada saya untuk menikmati hidup bersama keluarga, dan saat ini saya bisa berkata ‘Tuhan masih sayang pada saya’.”


Saat Hermanus diperhadapkan kepada kematian, dia hanya bisa berdoa dan berharap kepada Yesus.
“Saya cuman bisa berdoa, ‘Tuhan, tolong saya.’ Dengan kecelakaan ini saya masih diselamatkan dengan kondisi yang boleh dikatakan masih fit, bagi saya itu suatu mukjizat yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya sangat-sangat berterima kasih kepada Tuhan karena Tuhan telah menyelamatkan saya. Saya yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus itu akan selalu melindungi dan menyertai saya di tiap langkah hidup saya.”

Makin Berkomitmen Kepada Tuhan

“Saya tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan karena saya sudah diselamatkan dari maut. Saya percaya ini semua adalah campur tangan dan Kuasa Tuhan yang bekerja dalam hidup saya. Sejak kejadian itu dimana Tuhan telah menolong saya, saya berjanji akan lebih rajin lagi mengikuti kegiatan gereja. Puji Tuhan kalau saat ini saya boleh dekat dengan Tuhan melalui Gereja Roma Katolik Bunda Tujuh Kedukaan Pandu Bandung. Saya juga melayani sebagai ketua kring lingkungan Santa Cicilia Sukasari. Seandainya saya ditanya apa masih ingin terbang lagi? Saya akan menjawab ‘Ya’ karena saya tidak perlu takut karena Tuhan Yesus beserta dengan saya dan DIA-lah yang berkuasa atas hidup saya.”

Dan Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu. Tuhan menyertai kamu sekalian. (II Tesalonika 3:16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar