Senin, 08 Juni 2015

Israel Rapat Bersama Arab Saudi, Tangkal Iran

Pejabat Israel Dore Gould (kanan) bersalaman dengan mantan jenderal Saudi Majed Eshki. 
Arab Saudi dan Israel akhirnya membenarkan rumor selama ini bahwa dua negara bermusuhan itu sebetulnya sudah menjalin hubungan diplomatik. Dalam forum Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat pekan lalu, kedua negara membenarkan sudah digelar lima kali pertemuan rahasia di tempat netral sejak 2014.


Tujuan dialog itu adalah membahas strategi menangkal Iran yang terus berambisi memiliki nuklir. Dirjen Kementerian Luar Negeri Israel Dore Gold mengatakan pihaknya dan Saudi punya kepentingan beririsan.

Israel jengah dengan langkah Iran mendanai militan Hizbullah di selatan Libanon. Apalagi AS malah mengizinkan Iran memiliki fasilitas nuklir, yang dikhawatirkan bisa menjangkau wilayah Zionis.

Sedangkan Arab Saudi sejak lama tidak akur dengan negara mayoritas Syiah itu. Apalagi Iran secara terbuka mendukung militan Houthi yang menggulingkan Presiden Yaman selaku sekutu Saudi.

"Bukan berarti (Israel-Saudi) telah menyelesaikan semua masalah dan perbedaan selama ini, tapi harapan kami, isu-isu bersama dapat kami atasi di tahun-tahun mendatang," kata Gold seperti dilansir the Atlantic, Senin (8/6).

Dalam forum yang sama, Saudi diwakili Anwar Majed Eshki, purnawirawan yang dulu menjabat sebagai penasehat Dubes Saudi untuk Amerika Serikat.

Eshki bersalaman dengan Gold di hadapan forum yang digelar Kementerian Luar Negeri AS itu. Saat berpidato, Eshki menjelaskan alasan negaranya bersedia duduk semeja dengan Israel, untuk menangani pengaruh Iran.

Bekas jenderal berpengaruh di Saudi ini percaya para mullah di Iran berambisi menguasai Timur Tengah. "Ada tujuh skenario yang dipersiapkan Saudi untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah," kata Eshki.



Salah satu rencana itu adalah mendongkel rezim Mullah di Iran. Supaya Israel dan negara-negara Arab tak lagi ribut, Saudi pun mengusulkan terciptanya negara penyangga menampung warga Kurdi. Wilayah 'kurdistan' itu mencakup sebagian Iran, Irak, dan Turki.

Saudi, sebagai wakil Islam Sunni utama dunia, tidak pernah mengakui Israel sejak didirikan paksa oleh Inggris pada 1948. Sebagian petinggi Kerajaan Negeri Petro Dolla itu juga gigih mendanai perjuangan militan Palestina.

Namun belakangan, meningkatnya pengaruh Iran dalam politik kawasan mencemaskan para pangeran di Riyadh. Sumber intelijen sudah lama mengabarkan bahwa yang paling dibenci Saudi dari Iran adalah teknologi nuklirnya.

Saudi tahun lalu dikabarkan ingin membeli rudal balistik berhulu nuklir dari Pakistan supaya negara Syiah itu tidak sendirian menguasai senjata pemusnah massal di negara muslim.

Merujuk kesepakatan dengan AS yang dibuat di Kota Lausanne, Swiss, April lalu, Iran bersedia mengurangi persediaan fasilitas pengayaan uranium hingga 98 persen. Dengan demikian, negara Syiah kaya minyak itu dipastikan tidak memiliki bahan baku senjata nuklir. Selain itu, pemerintah Iran juga bersedia diperiksa Badan Internasional Energi Atom (IAEA) saban tahun. Sebagai gantinya, penjualan minyak Iran tak lagi diboikot.

Tapi pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Ali Khamenei menolak kesepakatan itu. Dia menuding tawaran AS dan negara Barat mencabut sanksi ekonomi tidak bisa dipercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar