Sabtu, 20 Juni 2015

Kecewa Pada Kebrutalan Islam, Kurdi Kembali Peluk Zoroaster

Warga Irak Yazidi merayakan tahun baru di Lembah Lalish

Abad ke-7, ketika Islam menjadi agama dominan di wilayah itu, agama Zoroaster dianggap punah. Kini, untuk pertama kalinya setelah lebih dari 1000 tahun, para penduduk lokal Provinsi Sulaemaniah pada 1 Mei lalu melakukan upacara kuno, di mana para pemeluk Zoroaster mengenakan ikat pinggang yang menyimbolkan bahwa mereka siap menegakkan dan mengamalkan ajarannya.


2 Juni 2015, Oleh Budhiana kartawijaya

SEKELOMPOK Suku Kurdi Irak kembali memeluk agama Zoroaster (Zoroastrianisme), agama kuno yang menggeliat kembali di Irak belahan utara. Para pemeluknya menyerukan agar penduduk lokal kembali ke Zoroaster karena agama itu merupakan ajaran sejati suku Kurdi. Yang lain mengatakan munculnya agama itu akibat semakin mengerasnya ekstrimisme Islam di Irak.

Zoroaster adalah salah satu agama tertua dengan jumlah pemeluk tersedikit. Agama ini bangkit kembali di wilayah semi otonom Kurdistan Irak. Suku Kurdi menempati tanah Kurdistan. Mereka tidak mempunyai negara sendiri karena wilayah Kurdistan terbagi-bagi menjadi wilayah Irak, Iran, Turki dan Suriah. Pendiri agama ini adalah Zoroaster yang juga dikenal dengan nama Zarathustra, yang lahir di wilayah Kurdistan Iran.


  Peta Wilayah Kurdistan

Jelas, Zoroaster memiliki akar yang merasuk suku Kurdi. Kitab suci mereka, Avesta, ditulis dalam bahasa kuno yang menjadi akar bahasa Kurdi. Selain di Kurdistan Irak, Zoroaster juga muncul di Kurdistan Iran, Suriah dan Turki. Dia juga mulai terlihat di Tajikistan Asia Tengah. Pada abad ini diperkirakan pemeluknya berjumlah 190.000 orang di seluruh dunia. Abad ke-7, ketika Islam menjadi agama dominan di wilayah itu, agama Zoroaster dianggap punah.

Kini, untuk pertama kalinya setelah lebih dari 1000 tahun, para penduduk lokal Provinsi Sulaemaniah pada 1 Mei lalu melakukan upacara kuno, di mana para pemeluk Zoroaster mengenakan ikat pinggang yang menyimbolkan bahwa mereka siap menegakkan dan mengamalkan ajarannya. Upacara itu semacam pembaptisan bagi pemeluk Kristen.

Para pemeluk baru yang sudah bersaksi itu (semacam syahadat kalau dalam Islam) bertekad akan melaksanakan upacara-upacara ibadah di Kurdistan Irak, dan sudah memohon izin kepada empat negara yang menguasai wilayah Kurdistan itu untuk membangun 12 kuil. Perwakilan Zoroastrian juga sudah mendatangi pemerintah lokal Kurdistan Irak dan memohon agar negara mengakui Zoroaster secara formal sebagai agama. Bahkan mereka sudah memiliki lagu kebangsaan sendiri. Para penduduk lokal banyak yang menyaksikan event-event mereka. Pemeluk Zoroaster membentuk organisasi resmi dan mengelola media sosial.

Meski belum ada angka resmi berapa jumlah warga Kurdi yang kembali ke agama Zoroaster, diskusi soal ini menghangat. Mereka yang sudah memeluk Zoroaster yakin bahwa jika warga Kurdi mempelajari Zoroaster, jumlah pemeluknya akan meningkat. Mereka juga menebar paham bahwa Zoroastrianisme “lebih Kurdi” dari pada agama lain – dan hal ini cukup menarik perhatian warga di wilayah di mana rasa kesamaan etnik lebih kuat dari pada ikatan agama.

Salah seorang pemeluk, Dara Aziz kepada media Niqash mengatakan: ”Saya sungguh berharap bahwa kuil-kuil segera dibangun sehingga kami bisa segera kembali kepada agama asli kami.”

“Agama ini akan mengembalikan budaya dan agama nyata kaum Kurdi,” ujar Luqman al-Haj Karim, seorang perwakilan senior Zoroaster dan kepala Zand (sebuah organisasi Zoroaster) yang meyakini bahwa sistem kepercayaan mereka “sangat Kurdi” dibanding agama lain. “Kebangkitan ini merupakan revolusi budaya, yang memberikan rakyat sebuah jalan baru untuk mencari ketenangan pikiran, harmoni dan cinta,” ujarnya.


Kaum Zoroastrians percaya bahwa di dunia ini kekuatan baik dan kekuatan jahat bertarung. Pandangan ini juga yang mendasari warga lokal itu bahwa kebangkitan ini merupakan perlawanan terhadap krisis keamanan yang ditimbulkan oleh kelompok ISIS, maupun karena semakin tajamnya konflik etnik dan sektarian yang melanda Irak.

“Rakyat Kurdistan tidak mengenal lagi gerakan Islam mana, doktrin mana atau fatwa siapa yang harus diikuti,” ujar Mariwan Naqshbandi, juru bicara Kementerian Agama Kurdistan Irak, kepada Niqash. Dia mengatakan, ketertarikan mereka kepada agama Zoroaster merupakan simptom ketidaksepakatan dalam Islam dan instabilitas keagamaan di Kurdistan Irak pada khususnya, dan di seluruh Irak pada umumnya.

“Bagi kaum Kurdi nasionalis dan liberal, motto Zoroaster dipandang moderat dan realistik,” kata Naqshbandi. “Orang-orang di sini sangat marah kepada ISIS dan kekejamannya itu.”

Naqshbandi juga membenarkan bahwa Kementerian Agama berjanji membantu untuk mewujudkan kehendak umat Zoroaster. Hak kebebasan beragama dan menjalankan kepercayaan dijamin oleh hukum di wilayah itu. Kementerian agama sudah menyetujui untuk menempatkan perwakilan agama Zoroaster di kantor-kantor kementerian itu.

Namun ada juga yang membantah kebangkitan Zoroaster sebagai reaksi atas ekstrimisme agama dan ISIS. “Rakyat Kurdi menjadi korban runtuhnya kebudayaan mereka sehingga mereka tidak mampu berubah,” kata pemimpin lain Zoroaster, al-Karim. “Tidaklah logis menghubungkan Zoroaster dengan ISIS. Kami semata-mata mendorong mereka ke arah cara berpikir baru tentang bagaimana hidup yang lebih baik, seperti yang diajarkan Zoroaster kepada kami.

Di media sosial lokal diskusi soal ini menghangat. Topik yang paling mencuat adalah pertanyaan: Apakah Suku Kurdi akan meninggalkan Islam dan beralih ke ajaran lain?

“Kami tidak ingin menjadi pengganti agama apapun,” jawab al-Karim. “Kami hanya ingin merespons kebutuhan masyarakat.”

Meski al-Karim tidak mengakuinya, orang sudah mahfum bahwa kembali ke ajaran Zoroaster berarti menanggalkan Islam. Namun kebanyakan mereka yang bertekad memakai “sabuk” Zoroaster, tetap menghindari kesan merendahkan agama lain. Ini sebabnya ulama dan politisi Islam tidak mengritik kaum Zoroastrians secara terbuka.

Salah seorang politisi lokal, Haji Karwan (anggota parlemen dari Persatuan Islam Kurdistan Irak), kepada Niqash mengatakan dia tidak yakin bahwa begitu banyak yang memeluk Zoroaster. "Mereka yang mempromosikan agama ini sangatlah sedikit," katanya.

Karwan tidak sependapat bila dikatakan bahwa agama -apalagi Zoroaster- bersifat khusus “Kurdi”. “Agama itu turun untuk semua manusia, bukan untuk kelompok etnis tertentu,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar